A.
PENDAHULUAN
Kedudukan hadis Nabi SAW menurut umat Islam
adalah sebagai sumber kedua dalam ajaran mereka setelah al-Qur’an. Hadis berfungsi
sebagai penjelas al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan
dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap
segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam
al-Qur’an.
Oleh karena sedemikian pentingnya keberadaan
hadits Nabi itu, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam
dengan cara mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan
dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Mereka adalah
para orientalis.
Menurut MM. Azami adapun tokoh-tokoh orientalis, diantaranya Ignaz Goldziher dan Joseph
Schacht. Dimulai dengan Goldziher, karena ia meninggal lebih dulu, disamping
bukunya dianggap sebagai “kitab suci” dikalangan orang-orang orientalis. Dan
agaknya tidak ada seorang orientalis pun yang mempelajari hadis seperti
Goldziher, kecuali muridnya Joseph Schacht.
Dan dalam makalah ini juga akan dibahas tentang sanggahan ulama
Islam terhadap kritik Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, selain penulis
membahas tentang siapa kedua orientalis itu dan bagaimana pandangan mereka
terhadap hadis.
B.
PEMBAHASAN
I.
Pengertian
Orientalis dan Pandangan Secara Umum Terhadap Orientalis
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Orientalis adalah ahli
bahasa, kesusastraan dan kebudayaan bangsa-bangsa timur.[1]
Dalam Kamus Inggris Indonesia kata “orientalis” berasal dari kata orient
yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti
orang Timur atau Asia[2]
Ada juga kata Orientalisme, yaitu pemahaman tentang masalah-masalah
ketimuran. Istilah ini berasal dari bahasa prancis dari kata orient yang
berarti “timur” atau bersifat timur. dan isme yang berarti paham, ajaran,
cita-cita atau sikap. Secara analitis orientalisme dibedakan atas :[3]
1.
Keahlian
mengenai wilayah timur
2.
Metodologi
dalam mempelajari masalah ketimuran
3.
Sikap
ideologis terhadap masalah ketimuran, khususnya terhadap dunia islam.
Sedangkan
orang-orang yang mempelajari masalah-masalah ketimuran (termasuk keislaman)
disebut orientalis. Para orientalis adalah ilmuan Barat yang mendalami
bahasa-bahasa, kesustraan, agama, sejarah, adat-istiadat, dan ilmu-ilmu dunia
timur.[4]
Para referensi
lain juga dikatakan bahwa, Orientalis adalah istilah yang digunakan untuk
seseorang yang ahli tentang hal-hal berkaitan dengan timur atau yang sering
disebut dengan ahli ketimuran. secara geografis Orientalis bermakna “ dunia
belahan timur”, dan secara kulturalis berarti “ bangsa-bangsa di timur”. Dalam
hal ini tidak terbatas kepada non muslim tetapi juga muslim. Akan tetapi yang
dimaksud dengan orientalis dalam tulisan ini ialah dari non muslim.[5]
Ada tiga faktor
yang saling berkaitan menyangkut orientalisme. Pertama, seorang “orientalis”
adalah orang yang mengajarkan, menulis atau meneliti tentang timur, terlepas
apakah dia seorang antropolog, sosiolog, sejarawan dan lain-lain. Kedua,
“orientalisme” adalah model pemikiran yang didasarkan pada pembedaan antara
timur dan barat secara antologis dan epistemologis. Ketiga, “orientalisme”
adalah dapat menghadapi timur. Antonim dari kata orientalis adalah occidentalis
ialah orang-orang yang memiliki minat menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan
kebaratan, baik aspek budaya, agama, politik da ekonominya. [6]
Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, orientalis adalah setiap orang
Barat non muslim yang melakukan pengkajian terhadap hal-hal yang berkaiatan
dengan ketimuran, baik itu masalah agama, politik, budaya, dan lain-lain. Dan
lebih khusus lagi dalam tulisan ini adalah tentang kajian mereka terhadap hadis
Nabi SAW yang diyakini oleh umat Islam sebagai sumber ajaran kedua setelah
Al-Qur’an.
Adapun latar
belakang lahirnya orientalis, beberapa pakar sejarah Islam telah menyumbangkan
pemikirannya tentang hal ini. Hasrat untuk mempelajari dunia timur telah
bermula sejak zaman purbakala dan masa-masa berikutnya sampai awal abad ke-6 M.
akan tetapi faktor utamanya adalah sejak terjadinya kontak Barat dengan Islam
di berbagai peperangan, seperti perang Mut’ah (tahun 8H), dan perang Tabuk (tahun
9 H) dimana terjadi kontak pertama kali antara orang-orang ramawi (non muslim)
dengan kaum muslim. Ada juga ulama yang berpendapat lain.[7]
Sedangkan motif munculnya orientalis, dapat dikategorika pada motif agama,
politik, ekonomi dan keilmuan.
Secara umum para
orientalis mengkritik Islam hampir di setiap aspek, seperti aspek fikih,
sejarah, kitab sucinya, ibadahnya dan sebagainya. Dalam tulisan Dr, Syauqi Abu
Khalil dapat dibaca beberapa aspek Islam yang dikritik orientalis, yaitu :
1.
Islam
adalah bid’ah dari ajaran agama Nasrani
2.
Agama
Islam adalah ajaran yang dicuri dari agama Nasrani dan Yahudi
3.
Masa
kanak-kanak Muhammad itu gelap dan tidak terdidik
4.
Kitab
suci al-Qur’an adalah karangan Muhammad yang bersumber dari khayalannya
5.
Dalam
al-Qur’an banyak terdapat pertentangan yang membingungkan umat Islam
6.
Islam
agama akal-akalan
7.
Islam
bersifat filasafat dan musuh ilmu pengetahuan
8.
Umat
Islam membakari buku-buku perpustakaan ketika menaklukkan wilayah musuh
9.
Islam
memusuhi kaum wanita
10.
Islam
agama untuk orang Arab saja
11.
Islam
disebarkan melalui di bawah mata pedang
12.
Islam
melestarikan perbudakan
13.
Motivasi
penaklukan wilayah usuh hanya untuk mendapatkan harta rampasan
14.
Islam
agama fanatic dan kaum minoritas sangat tertindas di wilayah Islam
15.
Umat
Islam menyembah trinitas, dan lain-lain.[8]
Mengenai
kritikan Orientalis yang tercantum di atas, penulis berpendapat bahwa setiap
poin-poin yang dikritik tidaklah benar terjadi dalam Islam, bahkan pada
kenyataannya apa yang dikritik bertolak belakangan dengan kenyataan. Jika ada
yang orientalis yang berpendapat seperti hal di atas maka dapat dikatakan bahwa
sesungguhnya orientalis tersebut hanya mengada-ngada sesuai pikiran mereka saja
dan tidak paham dengan Islam .
Secara
khusus, para orientalis juga gencar melakukan kritik terhadap hadis atau sunah
Rasulullah. Mereka memilih hadis dalam upaya menyerang umat Islam, karena
kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslimin. Hadis adalah
sumber hukukm kedua setelah al-Qur’an sekaligus sebagai penjelas al-Qur’an itu
sendiri. Mereka juga mengkritik al-Qur’an, tetapi lebih sulit membuyarkan umat
Islam lewat kritikan terhadap al-Qur’an, karena menurut mereka adalah wahyu
Allah yang sebenarnya sudah diyakini. Sedangkan hadis adalah perkataan manusia
yang boleh jadi dari Nabi dan boleh jadi dari sahabat.
Mereka mengkritik hadis dari berbagai segi, mulai dari sanad,
matan, tokoh, kitab, periwayatan dan lain-lainnya. Di antara orientalis yang
banyak mengkaji tentang hadis dan hasil kajiannya menjadi rujukan bagi
orientalis lainnya, yaitu Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht
II.
Pandangan
dan Kritik Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht
1.
Ignaz
Goldziher ( 1850-1921 M)
a.
Biografi
Ignaz Goldziher
Goldziher adalah tokoh orientalis Yahudi dari Hungaria yang
dilahirkan pada tahun 1850 M. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Dalam
usia dua belas tahun ia telah menunjukkan kekuatan intelektualnya dengan
keberhasilannya meulis risalah mengenai asal-usul dan waktu yang tepat untuk
sembahyang bagi orang Yahudi. Dan dalam usia sembilan belas tahun ia telah
mendapatkan gelar doktor.[9]
Tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar dengan Syekh Thahir al-Jazari.
Kemudian ia pergi ke Palestina dan Mesir juga dalam rangka belajar. Di mesir ia
belajar kepada ulama al-Azhar, dan beberapa tahun kemudian ia pulang dan diangkat
menjadi guru besar di Budapest. Hasil penelitiannya dibidang keislaman banyak
yang dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris, Perancis, bahkan ada yang
dipublikasikan dalam bahasa Arab. Hasil karyanya di bidang hadis yang
dipublikasikan pada tahun 1890 ialah berjudul “ Muhammedanische Studen”
( studi tentang hadis-hadis nabi Muhammad). [10]
b.
Kritik
Ignaz Goldziher Terhadap Hadis
Buku yang berjudul “ Muhammedanische Studen” ( studi tentang
hadis-hadis nabi Muhammad) berisi tentang kritiknya terhadap hadis Rasulullah
dan menjadi rujukan bagi peneliti orientalis sesudahnya. Di antara kritikannya
terhadap hadis ialah :
1)
Bahagian
terbesar dari hadis yang dikatakan bersumber dari Nabi adalah tidak benar.
Catatan-catatan ini hanya merupakan jerih payah umat Islam pada masa keemasan
sebagai dokumen atas kemajuan yang dicapai di bidang agama, sejarah dan sosial.
Pada saat sesudahnya terjadi ketegangan antara Dinasti Umawiyyah dengan Ahlu
Bait di Madinah ( ulama yang takwa). Mereka ini memerangi kelompok pemberontak
Umawiyyah dengan membuat hadis sebanyak-banyaknya yang memojokkan dinasti
pengacau. Sebaliknya Umawiyyah pun melakukan hal yang sama. Oleh karena itu
hadis-hadis yang beredar di kalangan umat Islam tidak dapat diyakini sebagai
yang bersumber dari Nabi.[11]
2)
Tokoh
hadis Ibnu Syihab al-Zuhri merupakan orang yang diperalat atau dimanfaatkan
oleh khalifah Umawiyyah, Abdul Malik bin Marwan, untuk membuat hadis palsu yang
secara politik, berpihak kepada penguasa Umawiyah. Misalnya hadis tentang pergi
ke tiga mesjid.
لاَتُشَدُّوا
الِّحَالُ اِلاَّ إِلَى ثَلاَثَهِ مَسَاجِدَ . اَلْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ
مَسْجِدِى وَ مَسْجِدِ بَيْتُ الْمَقْدِسِ (رواه البخارى)
“ Janganlah kalian melakukan perjalanan kecuali menuju tiga
mesjid. Masjidil Haram, Masjidku (nabawi) dan Majdil Baitul Maqdis (al-Aqsha)”.
(HR. al-Bukhari)
Kata Goldziher, “Abd al-Malik bin Marwan merasa khawatir apabila
orang-orang Syam yang pergi haji ke Makkah itu melakukan baiat kepada ‘Abdullah
bin al-Zubair. Karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubbah
al-Shakhra di Qudus (Jerussalem) sebaga ganti dari pergi haji ke Makkah. Ia
juga mengeluarkan keputusan bahwa tawaf di sekitar al-Shakhra tadi sama
nilainya dengan tawaf di sekitar ka’bah. Untuk tujuan politis ini, ia
mempercayakan ahli hadis al-Zuhri untuk membuat hadis yang sanadnya bersambung sampai
kepada Nabi SAW, dan mengedarkannya dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat
dipahami bahwa ada tiga mesjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji, yaitu
mesjid di Makkah, mesjid di Madinah, dan mesjid di Qudus.[12]
Tuduhan Goldziher tersebut juga berdasarkan kepada kenyataan bahwa
al-Zuhri itu adalah teman baik Abdul Malik bin Marwan dan tergolong ulama yang
dekat dengan penguasa, dan hadis yang berasal dari sanad al-Zuhri tentang
keutamaan Baitul Maqdis itu hanya berasal dari al-Zuhri, tidak ada sanad lain
yang dilalui hadis tersebut.[13]
3)
Goldziher
tidak mempercayai kebenaran metodologi dan cara penulisan atau pembukuan hadis
yang menurut ulama sudah dilakukan sejak abad ke dua hijriyah oleh Umar bin
Abdul Aziz. Dengan alasan bahwa sumber hadisnya ditemukan dari hafalan, sebab
hadis tidak ada yang ditulis dan masa Rasul dan sahabat. Ia tidak percaya
terhadap keakuratan hafalan sahabat terhadap hadis.
2.
Joseph
Schacht ( 1902-1969 M)
a.
Biografi
Joseph Schacht
Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada tanggal 15 Maret 1902,
ia memperoleh gelar sarjana tingkat pertama di Universitas Prusia. Pada tahun
1923 dalam usia 21 tahun ia telah memperoleh gelar Doktor di Universitas
Berslaw. Ia pernah belajar bahasa Arab di Universitas Fuad Awal ( sekarag sudah
menjadi Universitar Kairo) dan tinggal disana sampai tahun1939. Setelah itu ia
pindah ke Universitas Leiden belanda, tahun 1959 pindah ke New York. Ia
memiliki beberapa bidang kajian, tetapi lebih menonjol di bidang hukum dengan
karyanya yang berjudul “The Origin Of Muhammad Yurisprudence” yang
terbit pada tahun 1960. Dalam buku ini ia membuat kritikan terhadap hadis Nabi.[14]
b.
Joseph
Schacht dan Otentitas Sanad Hadis
Schacht menulis beberapa kritik terhadap hadis Nabi, diantaranya
bahwa isnad atau pemakai sanad pada hadis merupakan tindakan yang tidak
akademis karena dibuat berdasarkan kemauan belaka (semena-mena) terhadap hadis
Nabi yang digerakkan oleh kelompok Islam yang menghubungkan teorinya kepada
tokoh-tokoh (sahabat dan tabi’in masa lalu) dengan harapan teorinya dipercaya
dan diterima. Menurutnya, berdasarkan penelitiannya terhadap kitab al-Muwattha’
Imam Malik, al-Muwattha’ Syaiban dan kitab al-Umm Imam Syafi’I, tidak ditemukan
sanad pada ketiga kiatab tersebut. Padahal kitab-kitab tersebut merupakan
rujukan bagi peneliti hukum dan hadis.[15]
Menurut Schacht, dalam kitab al-Muwattha’ ada hadis yang putus
sanadnya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Malik bin Hisyam bin Urwah dari
ayahnya, bahwa Umar bin Khatab ketika berada di mimbar pada waktu khutbah
jum’at membaca ayat sajadah (ayat dimana pembaca dan pendengar disunahkan
sujud), maka beliau turun dari mimbar dan sujud, kemudian orang-orang ikut
sujud juga. Pada hari jum’at yang lain, beliau juga membaca ayat seperti itu,
sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika melihat itu
beliau berkata, “Tenanglah, karena Allah tidak mewajibkan bersujud dalam ayat
sajadah kecuali apabila kita mau”. Berdasarkan hal itu, beliau pun mencegah
mereka untuk bersujud.
Sedangkan menurut Schacht, dalam kitab Shahih Bukhari terdapat
sanad yang bersambung, dan dalam naskah kuno kitab al-Muwattha’ tedapat kata
“dan kami bersujud bersama Umar”. Dan kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh
Urwah, hanya dianggap ini ucapannya. Kenyataannya inilah teks asli kitab
al-Muwattha’. Keadaan ini adalah bukti bahwa” pembuatan” teks hadis sudah ada
lebih dahulu, kemudian baru dibuat sanadnya, sehingga hadis itu disebut berasal
dari masa silam.[16]
Menurut Schacht, sanad-sanad hadis itu dikembangkan oleh kelompok
Islam tertentu untuk menyandarkannya kepada tokoh-tokoh terdahulu. Ibnu Sirin
mengatakan bahwa upaya meneliti sanad baru dimulai sejak terjadinya fitnah,
masa Walid bin Zaid (w. 126 H). oleh karena itu sebelumnya tidak ada sanad pada
hadis disebabkan oleh penelitian sanad belum dilakukan.[17]
III.
Tanggapan
Ulama Terhadap Pandangan Ignaz Goldziher
dan Joseph Schacht
1.
Sanggahan
Terhadap Tuduhan Ignaz Goldziher
Tuduhan Goldziher bahwa bagian terbesar dari hadis adalah catatan
ulama pada abad kedua hijriyah. Tuduhan ini muncul karena Goldziher melihat
kodifikasi hadis baru terjadi di akhir abad pertama dan awal abad kedua di masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dia beranggapan apa yang dibukukan itu adalah
catatan sejarah yang dibuat sahabat. Di masa Nabi hadis itu tidak ada dibukukan
karena ada larangan dari Nabi, sehingga tidak diterima akal kalau yang mereka
tulis seabad kemudian adalah hadis yang bersumber dari Nabi.
Secara historis tuduhan ini palsu tidak ada bukti yang kuat untuk
membenarkannya, sebab:
a.
Rasulullah
wafat setelah bangunan agam Islam benar-benar sempurna, dengan selesainya
kitabulalh dan sunnah Nabi Saw. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an pada
surat al-Maidah ayat: 3
4 tPöquø9$#
àMù=yJø.r&
öNä3s9
öNä3oYÏ
àMôJoÿøCr&ur
öNä3øn=tæ
ÓÉLyJ÷èÏR
àMÅÊuur
ãNä3s9
zN»n=óM}$#
$YYÏ
ÇÌÈ
“pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” [18]
b.
Pelarangan
penulisan hadis pada masa Rasulullah dapat dibenarkan, tetapi Rasulullah juga
menyuruh sebagian sahabat untuk memelihara hadis melalui catatan. Para sahabat
pernah memberikan laporan kepada
Rasulullah bahwa ada seorang sahabat bernama Abdullah bin Amar menulis semua
yang dia dengar dari Rasulullah, mereka khawatir Abdullah menulis semua ucapan
Rasul ketika marah padahal tidak ada hubungannya dengan syara’ dan
pembelajaran. Mendengar laporan itu Rasul berkata :
“ Tulislah tentang aku, demi Allah tidak ada yang keluar dari
mulutku kecuali benar”.
c.
Sahabat
diketahui memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Mereka mampu menghafal ribuan
hadis yang mereka dengar dari Nabi. Kegiatan menghafal sudah merupakan budaya
orang Arab yang mereka wariskan dari dulu. Bangsa Arab sebelum Islam sering
melakukan perlombaan baca sya’ir tanpa
teks, karenanya mereka telah terbiasa dan terlatih menghafal termasuk kemudian
menghafal hadis. Mereka sering berdiskusi membetulkan hafalan hadis yang mereka
terima, karena khawatir terjadi kesalahan dalam meriwayatkan[19]
Tuduhan terhadap al-Zuhri, menurut
MM Azami dalam bukunya Hadis Nabi dan Sejarah
Kodifikasinya,
menyatakan bahwa tuduhan Goldziher terhadap al-Zuhri itu tidak benar. Apakah kedudukan al-Zuhri sedemikian itu sehingga ia mau
memalsukan hadis-hadis dan mengatakannya bahwa hal itu dari Nabi ? apakah ia
dan ‘Abd al-Malik bin Marwan mampu meniadakan ibadah haji ke Makkah dan
menggantinya dengan haji ke Qudus (Jerussalem)? Tidak ada fakta sejarah
sedikitpun yang dapat mendukung tuduhan itu, tetapi justru sebaliknya.
Ahli sejarah
berbeda pendapat tentang tahun kelahiran al-Zuhri antara tahun 50 H sampai
tahun 58 H. ia juga tidak penah bertemu dengan ‘Abd al-Malik bin Marwan sebelum
tahun 81 H. disegi lain, pada tahun 67H Palestina berada di luar kekuasaan ‘Abd
al-Malik bin Marwan, sedangkan orang-orang Bani Umayyah pada tahun 68 H berada
di Mekkah dalam musim haji.
Dari data-data
tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘Abd al-Malik bin Marwan tidak mungkin
mempunyai pikiran untuk membangun Qubbah al-Shakhra’ sebagai pengganti Ka’bah,
kecuali setelah tahun 68 H. Sumber- sumber sejarah juga menunjukkan bahwa
pembangunan Qubbah al-Shakhra’ itu baru dimulai pada tahun 69 H.[20] dan
ini agaknya waktu yang tepat dimana ‘Abd al-Malik bin Marwan membenarkan idenya
dengan hadis al-Zuhri. Pada waktu itu al-Zuhri berumur 10 sampai 18 tahun.
Rasanya tidak logis apabila seorang anak semuda itu sudah popular dikalangan
ilmuan di luar lingkungannya sendiri, sehingga mereka tunduk hanya karena ia
mampu meniadakan kewajiban ibadah haji yang sudah diterangkan beratus-ratus
kali baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi SAW. Sebab pada waktu tu di
Syam masih banyak para sahabat dan tabi’in senior yang masih hidup, tidak
mungkin mereka diam saja melihat kejadian yang ganjil itu.seandainya mereka
tidak mampu menghadapi hal itu, tentulah mereka sudah mengecam ‘Abd al-Malik
karena ia membiarkan hal itu terjadi dan tidak mau menggunakan kedudukan mereka
sebagai sahabat dan tabi’in, tetapi ‘Abd al-Malik justru menggunakan anak kecil
umur belasan tahun untuk urusan agama.
Selanjutnya,
kata-kata al-Zuhri itu sebenarnya tidak menunjukkan sama sekali tentang adanya
upaya untuk memindahkan ibadah haji, juga tidak meunjukkan bahwa al-Shakhra’
itu merupakan tempat suci, demikian juga tawaf di sekitarnya tidak berarti
hal itu perbuatan yang baik. Kata-kata al-Zuhri itu hanya memberikan kedudukan
yang khusus kepada mesjid al-Aqsha. Dan memang sudah dimaklumi bahwa mesjid
al-Aqsha itu merupakan kiblat pertama uamt Islam. Selain itu, al-Zuhri
sendiri sebenarnya bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis tersebut.
Selain dia ada rawi-rawi lain yang dapat dipercaya, antara lain ‘Abd al-Malik
bin ‘Umair, ia meriwayatkan hadis tersebut dari Qaza’ah, dari Abu Sa’id
al-Khudri.[21]
Dari beberapa
sanggahan tentang tuduhan Goldziher, dapat disimpulkan bahwa apa yang
dituduhkannya tidaklah benar adanya. Tentang al-Zuhri pun jika dianggap hadis
tersebut palsu maka tuduhan terhadap al-Zuhri juga berlaku pada perawi lain yang
meriwayatkan hadis tersebut sebagai pemalsu hadis.
2.
Sanggahan
Terhadap Kritik Joseph Schacht
Sanggahan terhadap kritik Joseph Schacht terhadap naskah kuno kitab
al-Muwattha’ itu merupakan naskah asli dari kitab tersebut, tidak ada
dasarnya sama sekali, sebab kita tidak dapat memastikan bahwa Schacht perah
menemukan kitab al-Muwattha’ yang langsung ditulis oleh Imam Malik.
Sebenarnya, orang yang mengetahui bahasa dan tulisan Arab kuno akan segera
mengetahui bahwa kekeliruan itu berasal atas kesalahan penulis naskah dimana ia
lupa menulis huruf “sin” dalam kalimat :
“و سجد الناس معه “ sehingga kalimat itu akhirnya berbunyi "و سجدنا معه"
Selanjutnya, apabila masalah ini seperti yang dituduhkan Schacht,
yaitu adanya pemalsuan teks hadis lebih dahulu diiringi pemalsuan sanad
kamudian, maka siapakah yang melakukannya. Apakah Malik atau Hisyam bin Urwah,
sedangkan menurut penilaian umum kedua orang itu adalah cerdas dan tidak logis
jika hal itu mereka lakukan.[22]
Penelitian Schacht terhadap tiga buku yang menurutnya adalah buku
tentang hadis Nabi (al-Muwattha’ Imam Malik, al-Muwattha’
Syaiban, dan al-Umm Imam Syafi’i) adalah tidak tepat bila dijadikan
objek penelitian hadis, karena ketiga buku itu bukan buku hadis melainkan buku
fiqih. Kebanyakan buku fiqih saat ini tidak menuliskan sanad pada hadis yang
mereka kutip untuk mempersingkat bahasan karena yang menjadi focus mereka
adalah matannya yang menggandung hukum.[23]
Lalu sanggahan untuk tuduhan Schacht bahwa Ibnu Sirin mengatakan
bahwa penelitian sanad baru mulai pada tahun 126 H, sangat tidak masuk akal
karena Ibnu Sirin sudah wafat pada tahun 110 H. menurut sejarah fitnah dalam
Islam baru terjadi masa Ali bin Abi Thalib bukan masa al-Walid bin Zaid.[24]
Dari sanggahan-sanggahan yang tercantum di atas nampak bagi kita
bahwa apa yang dituduhkan dan dikritik oleh para orientalis, baik itu Ignaz
Goldziher maupun muridnya Joseph Schacht bertolak belakang degan hasil temuan
ulama umat Islam, salah satu diantaranya adalah Muhammad Musthafa Azami selaku Guru
Besar Ilmu hadits Universitas King Saud Riyadh.
C.
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Tidak puas dengan hanya melihat dan membiarkan umat Islam teguh
pendirian dalam meyakini dan mengamalkan hadis-hadis Nabi, para orientalis
dalam makalah ini Ignaz Goldziher dan muridnya Joseph Schcaht berusaha
menggunakan pikiran mereka untuk mengkritik hadis-hadis tersebut. Apapun
kritikan mereka mengenai hal ini tentunya para ulama Islam tidak tinggal diam
pula untuk menyanggah pendapat mereka.
Hingga tampaklah bahwa tiap-tiap apa yang dikritik dan dituduhkan
oleh Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht terhadap hadis, bertolak belakang
dengan hasil penemuan ulama Islam, seperti hal-hal yang sudah kita bahas dalam
makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar