Kamis, 14 Juli 2016

PANDANGAN DAN KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADIS


 
A.    PENDAHULUAN
Kedudukan hadis Nabi SAW menurut umat Islam adalah sebagai sumber kedua dalam ajaran mereka setelah al-Qur’an. Hadis berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Oleh karena sedemikian pentingnya keberadaan hadits Nabi itu, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Mereka adalah para orientalis.
Menurut MM. Azami adapun tokoh-tokoh orientalis, diantaranya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Dimulai dengan Goldziher, karena ia meninggal lebih dulu, disamping bukunya dianggap sebagai “kitab suci” dikalangan orang-orang orientalis. Dan agaknya tidak ada seorang orientalis pun yang mempelajari hadis seperti Goldziher, kecuali muridnya Joseph Schacht.
Dan dalam makalah ini juga akan dibahas tentang sanggahan ulama Islam terhadap kritik Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, selain penulis membahas tentang siapa kedua orientalis itu dan bagaimana pandangan mereka terhadap hadis.

B.     PEMBAHASAN
I.                   Pengertian Orientalis dan Pandangan Secara Umum Terhadap Orientalis
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Orientalis adalah ahli bahasa, kesusastraan dan kebudayaan bangsa-bangsa timur.[1]
Dalam Kamus Inggris Indonesia kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia[2]
Ada juga kata Orientalisme, yaitu pemahaman tentang masalah-masalah ketimuran. Istilah ini berasal dari bahasa prancis dari kata orient yang berarti “timur” atau bersifat timur. dan isme yang berarti paham, ajaran, cita-cita atau sikap. Secara analitis orientalisme dibedakan atas :[3]
1.      Keahlian mengenai wilayah timur
2.      Metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran
3.      Sikap ideologis terhadap masalah ketimuran, khususnya terhadap dunia islam.
Sedangkan orang-orang yang mempelajari masalah-masalah ketimuran (termasuk keislaman) disebut orientalis. Para orientalis adalah ilmuan Barat yang mendalami bahasa-bahasa, kesustraan, agama, sejarah, adat-istiadat, dan ilmu-ilmu dunia timur.[4]
Para referensi lain juga dikatakan bahwa, Orientalis adalah istilah yang digunakan untuk seseorang yang ahli tentang hal-hal berkaitan dengan timur atau yang sering disebut dengan ahli ketimuran. secara geografis Orientalis bermakna “ dunia belahan timur”, dan secara kulturalis berarti “ bangsa-bangsa di timur”. Dalam hal ini tidak terbatas kepada non muslim tetapi juga muslim. Akan tetapi yang dimaksud dengan orientalis dalam tulisan ini ialah dari non muslim.[5]
Ada tiga faktor yang saling berkaitan menyangkut orientalisme. Pertama, seorang “orientalis” adalah orang yang mengajarkan, menulis atau meneliti tentang timur, terlepas apakah dia seorang antropolog, sosiolog, sejarawan dan lain-lain. Kedua, “orientalisme” adalah model pemikiran yang didasarkan pada pembedaan antara timur dan barat secara antologis dan epistemologis. Ketiga, “orientalisme” adalah dapat menghadapi timur. Antonim dari kata orientalis adalah occidentalis ialah orang-orang yang memiliki minat menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan kebaratan, baik aspek budaya, agama, politik da ekonominya. [6]
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, orientalis adalah setiap orang Barat non muslim yang melakukan pengkajian terhadap hal-hal yang berkaiatan dengan ketimuran, baik itu masalah agama, politik, budaya, dan lain-lain. Dan lebih khusus lagi dalam tulisan ini adalah tentang kajian mereka terhadap hadis Nabi SAW yang diyakini oleh umat Islam sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an.
Adapun latar belakang lahirnya orientalis, beberapa pakar sejarah Islam telah menyumbangkan pemikirannya tentang hal ini. Hasrat untuk mempelajari dunia timur telah bermula sejak zaman purbakala dan masa-masa berikutnya sampai awal abad ke-6 M. akan tetapi faktor utamanya adalah sejak terjadinya kontak Barat dengan Islam di berbagai peperangan, seperti perang Mut’ah (tahun 8H), dan perang Tabuk (tahun 9 H) dimana terjadi kontak pertama kali antara orang-orang ramawi (non muslim) dengan kaum muslim. Ada juga ulama yang berpendapat lain.[7] Sedangkan motif munculnya orientalis, dapat dikategorika pada motif agama, politik, ekonomi dan keilmuan.
Secara umum para orientalis mengkritik Islam hampir di setiap aspek, seperti aspek fikih, sejarah, kitab sucinya, ibadahnya dan sebagainya. Dalam tulisan Dr, Syauqi Abu Khalil dapat dibaca beberapa aspek Islam yang dikritik orientalis, yaitu :
1.      Islam adalah bid’ah dari ajaran agama Nasrani
2.      Agama Islam adalah ajaran yang dicuri dari agama Nasrani dan Yahudi
3.      Masa kanak-kanak Muhammad itu gelap dan tidak terdidik
4.      Kitab suci al-Qur’an adalah karangan Muhammad yang bersumber dari khayalannya
5.      Dalam al-Qur’an banyak terdapat pertentangan yang membingungkan umat Islam
6.      Islam agama akal-akalan
7.      Islam bersifat filasafat dan musuh ilmu pengetahuan
8.      Umat Islam membakari buku-buku perpustakaan ketika menaklukkan wilayah musuh
9.      Islam memusuhi kaum wanita
10.  Islam agama untuk orang Arab saja
11.  Islam disebarkan melalui di bawah mata pedang
12.  Islam melestarikan perbudakan
13.  Motivasi penaklukan wilayah usuh hanya untuk mendapatkan harta rampasan
14.  Islam agama fanatic dan kaum minoritas sangat tertindas di wilayah Islam
15.  Umat Islam menyembah trinitas, dan lain-lain.[8]
Mengenai kritikan Orientalis yang tercantum di atas, penulis berpendapat bahwa setiap poin-poin yang dikritik tidaklah benar terjadi dalam Islam, bahkan pada kenyataannya apa yang dikritik bertolak belakangan dengan kenyataan. Jika ada yang orientalis yang berpendapat seperti hal di atas maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya orientalis tersebut hanya mengada-ngada sesuai pikiran mereka saja dan tidak paham dengan Islam .
Secara khusus, para orientalis juga gencar melakukan kritik terhadap hadis atau sunah Rasulullah. Mereka memilih hadis dalam upaya menyerang umat Islam, karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslimin. Hadis adalah sumber hukukm kedua setelah al-Qur’an sekaligus sebagai penjelas al-Qur’an itu sendiri. Mereka juga mengkritik al-Qur’an, tetapi lebih sulit membuyarkan umat Islam lewat kritikan terhadap al-Qur’an, karena menurut mereka adalah wahyu Allah yang sebenarnya sudah diyakini. Sedangkan hadis adalah perkataan manusia yang boleh jadi dari Nabi dan boleh jadi dari sahabat.
Mereka mengkritik hadis dari berbagai segi, mulai dari sanad, matan, tokoh, kitab, periwayatan dan lain-lainnya. Di antara orientalis yang banyak mengkaji tentang hadis dan hasil kajiannya menjadi rujukan bagi orientalis lainnya, yaitu Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht

II.                Pandangan dan Kritik Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht
1.      Ignaz Goldziher ( 1850-1921 M)
a.       Biografi Ignaz Goldziher
Goldziher adalah tokoh orientalis Yahudi dari Hungaria yang dilahirkan pada tahun 1850 M. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Dalam usia dua belas tahun ia telah menunjukkan kekuatan intelektualnya dengan keberhasilannya meulis risalah mengenai asal-usul dan waktu yang tepat untuk sembahyang bagi orang Yahudi. Dan dalam usia sembilan belas tahun ia telah mendapatkan gelar doktor.[9] Tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar dengan Syekh Thahir al-Jazari. Kemudian ia pergi ke Palestina dan Mesir juga dalam rangka belajar. Di mesir ia belajar kepada ulama al-Azhar, dan beberapa tahun kemudian ia pulang dan diangkat menjadi guru besar di Budapest. Hasil penelitiannya dibidang keislaman banyak yang dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris, Perancis, bahkan ada yang dipublikasikan dalam bahasa Arab. Hasil karyanya di bidang hadis yang dipublikasikan pada tahun 1890 ialah berjudul “ Muhammedanische Studen” ( studi tentang hadis-hadis nabi Muhammad). [10]

b.      Kritik Ignaz Goldziher Terhadap Hadis
Buku yang berjudul “ Muhammedanische Studen” ( studi tentang hadis-hadis nabi Muhammad) berisi tentang kritiknya terhadap hadis Rasulullah dan menjadi rujukan bagi peneliti orientalis sesudahnya. Di antara kritikannya terhadap hadis ialah :
1)      Bahagian terbesar dari hadis yang dikatakan bersumber dari Nabi adalah tidak benar. Catatan-catatan ini hanya merupakan jerih payah umat Islam pada masa keemasan sebagai dokumen atas kemajuan yang dicapai di bidang agama, sejarah dan sosial. Pada saat sesudahnya terjadi ketegangan antara Dinasti Umawiyyah dengan Ahlu Bait di Madinah ( ulama yang takwa). Mereka ini memerangi kelompok pemberontak Umawiyyah dengan membuat hadis sebanyak-banyaknya yang memojokkan dinasti pengacau. Sebaliknya Umawiyyah pun melakukan hal yang sama. Oleh karena itu hadis-hadis yang beredar di kalangan umat Islam tidak dapat diyakini sebagai yang bersumber dari Nabi.[11]
2)      Tokoh hadis Ibnu Syihab al-Zuhri merupakan orang yang diperalat atau dimanfaatkan oleh khalifah Umawiyyah, Abdul Malik bin Marwan, untuk membuat hadis palsu yang secara politik, berpihak kepada penguasa Umawiyah. Misalnya hadis tentang pergi ke tiga mesjid.

لاَتُشَدُّوا الِّحَالُ اِلاَّ إِلَى ثَلاَثَهِ مَسَاجِدَ . اَلْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِى وَ مَسْجِدِ بَيْتُ الْمَقْدِسِ (رواه البخارى)
“ Janganlah kalian melakukan perjalanan kecuali menuju tiga mesjid. Masjidil Haram, Masjidku (nabawi) dan Majdil Baitul Maqdis (al-Aqsha)”. (HR. al-Bukhari)

Kata Goldziher, “Abd al-Malik bin Marwan merasa khawatir apabila orang-orang Syam yang pergi haji ke Makkah itu melakukan baiat kepada ‘Abdullah bin al-Zubair. Karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubbah al-Shakhra di Qudus (Jerussalem) sebaga ganti dari pergi haji ke Makkah. Ia juga mengeluarkan keputusan bahwa tawaf di sekitar al-Shakhra tadi sama nilainya dengan tawaf di sekitar ka’bah. Untuk tujuan politis ini, ia mempercayakan ahli hadis al-Zuhri untuk membuat hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW, dan mengedarkannya dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat dipahami bahwa ada tiga mesjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji, yaitu mesjid di Makkah, mesjid di Madinah, dan mesjid di Qudus.[12] 
Tuduhan Goldziher tersebut juga berdasarkan kepada kenyataan bahwa al-Zuhri itu adalah teman baik Abdul Malik bin Marwan dan tergolong ulama yang dekat dengan penguasa, dan hadis yang berasal dari sanad al-Zuhri tentang keutamaan Baitul Maqdis itu hanya berasal dari al-Zuhri, tidak ada sanad lain yang dilalui hadis tersebut.[13]

3)      Goldziher tidak mempercayai kebenaran metodologi dan cara penulisan atau pembukuan hadis yang menurut ulama sudah dilakukan sejak abad ke dua hijriyah oleh Umar bin Abdul Aziz. Dengan alasan bahwa sumber hadisnya ditemukan dari hafalan, sebab hadis tidak ada yang ditulis dan masa Rasul dan sahabat. Ia tidak percaya terhadap keakuratan hafalan sahabat terhadap hadis.
   
2.      Joseph Schacht ( 1902-1969 M)
a.       Biografi Joseph Schacht
Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada tanggal 15 Maret 1902, ia memperoleh gelar sarjana tingkat pertama di Universitas Prusia. Pada tahun 1923 dalam usia 21 tahun ia telah memperoleh gelar Doktor di Universitas Berslaw. Ia pernah belajar bahasa Arab di Universitas Fuad Awal ( sekarag sudah menjadi Universitar Kairo) dan tinggal disana sampai tahun1939. Setelah itu ia pindah ke Universitas Leiden belanda, tahun 1959 pindah ke New York. Ia memiliki beberapa bidang kajian, tetapi lebih menonjol di bidang hukum dengan karyanya yang berjudul “The Origin Of Muhammad Yurisprudence” yang terbit pada tahun 1960. Dalam buku ini ia membuat kritikan terhadap hadis Nabi.[14]

b.      Joseph Schacht dan Otentitas Sanad Hadis
Schacht menulis beberapa kritik terhadap hadis Nabi, diantaranya bahwa isnad atau pemakai sanad pada hadis merupakan tindakan yang tidak akademis karena dibuat berdasarkan kemauan belaka (semena-mena) terhadap hadis Nabi yang digerakkan oleh kelompok Islam yang menghubungkan teorinya kepada tokoh-tokoh (sahabat dan tabi’in masa lalu) dengan harapan teorinya dipercaya dan diterima. Menurutnya, berdasarkan penelitiannya terhadap kitab al-Muwattha’ Imam Malik, al-Muwattha’ Syaiban dan kitab al-Umm Imam Syafi’I, tidak ditemukan sanad pada ketiga kiatab tersebut. Padahal kitab-kitab tersebut merupakan rujukan bagi peneliti hukum dan hadis.[15]
Menurut Schacht, dalam kitab al-Muwattha’ ada hadis yang putus sanadnya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Malik bin Hisyam bin Urwah dari ayahnya, bahwa Umar bin Khatab ketika berada di mimbar pada waktu khutbah jum’at membaca ayat sajadah (ayat dimana pembaca dan pendengar disunahkan sujud), maka beliau turun dari mimbar dan sujud, kemudian orang-orang ikut sujud juga. Pada hari jum’at yang lain, beliau juga membaca ayat seperti itu, sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika melihat itu beliau berkata, “Tenanglah, karena Allah tidak mewajibkan bersujud dalam ayat sajadah kecuali apabila kita mau”. Berdasarkan hal itu, beliau pun mencegah mereka untuk bersujud.
Sedangkan menurut Schacht, dalam kitab Shahih Bukhari terdapat sanad yang bersambung, dan dalam naskah kuno kitab al-Muwattha’ tedapat kata “dan kami bersujud bersama Umar”. Dan kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh Urwah, hanya dianggap ini ucapannya. Kenyataannya inilah teks asli kitab al-Muwattha’. Keadaan ini adalah bukti bahwa” pembuatan” teks hadis sudah ada lebih dahulu, kemudian baru dibuat sanadnya, sehingga hadis itu disebut berasal dari masa silam.[16]   
Menurut Schacht, sanad-sanad hadis itu dikembangkan oleh kelompok Islam tertentu untuk menyandarkannya kepada tokoh-tokoh terdahulu. Ibnu Sirin mengatakan bahwa upaya meneliti sanad baru dimulai sejak terjadinya fitnah, masa Walid bin Zaid (w. 126 H). oleh karena itu sebelumnya tidak ada sanad pada hadis disebabkan oleh penelitian sanad belum dilakukan.[17]

III.             Tanggapan Ulama Terhadap Pandangan Ignaz  Goldziher dan Joseph Schacht
1.      Sanggahan Terhadap Tuduhan Ignaz Goldziher
Tuduhan Goldziher bahwa bagian terbesar dari hadis adalah catatan ulama pada abad kedua hijriyah. Tuduhan ini muncul karena Goldziher melihat kodifikasi hadis baru terjadi di akhir abad pertama dan awal abad kedua di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dia beranggapan apa yang dibukukan itu adalah catatan sejarah yang dibuat sahabat. Di masa Nabi hadis itu tidak ada dibukukan karena ada larangan dari Nabi, sehingga tidak diterima akal kalau yang mereka tulis seabad kemudian adalah hadis yang bersumber dari Nabi.
Secara historis tuduhan ini palsu tidak ada bukti yang kuat untuk membenarkannya, sebab:
a.       Rasulullah wafat setelah bangunan agam Islam benar-benar sempurna, dengan selesainya kitabulalh dan sunnah Nabi Saw. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an pada surat al-Maidah ayat: 3
 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ ÇÌÈ  
“pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” [18]

b.      Pelarangan penulisan hadis pada masa Rasulullah dapat dibenarkan, tetapi Rasulullah juga menyuruh sebagian sahabat untuk memelihara hadis melalui catatan. Para sahabat pernah  memberikan laporan kepada Rasulullah bahwa ada seorang sahabat bernama Abdullah bin Amar menulis semua yang dia dengar dari Rasulullah, mereka khawatir Abdullah menulis semua ucapan Rasul ketika marah padahal tidak ada hubungannya dengan syara’ dan pembelajaran. Mendengar laporan itu Rasul berkata :
“ Tulislah tentang aku, demi Allah tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali benar”.

c.       Sahabat diketahui memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Mereka mampu menghafal ribuan hadis yang mereka dengar dari Nabi. Kegiatan menghafal sudah merupakan budaya orang Arab yang mereka wariskan dari dulu. Bangsa Arab sebelum Islam sering melakukan perlombaan baca sya’ir  tanpa teks, karenanya mereka telah terbiasa dan terlatih menghafal termasuk kemudian menghafal hadis. Mereka sering berdiskusi membetulkan hafalan hadis yang mereka terima, karena khawatir terjadi kesalahan dalam meriwayatkan[19]
Tuduhan terhadap al-Zuhri, menurut MM Azami dalam bukunya Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, menyatakan bahwa tuduhan Goldziher terhadap al-Zuhri itu tidak benar. Apakah kedudukan al-Zuhri sedemikian itu sehingga ia mau memalsukan hadis-hadis dan mengatakannya bahwa hal itu dari Nabi ? apakah ia dan ‘Abd al-Malik bin Marwan mampu meniadakan ibadah haji ke Makkah dan menggantinya dengan haji ke Qudus (Jerussalem)? Tidak ada fakta sejarah sedikitpun yang dapat mendukung tuduhan itu, tetapi justru sebaliknya.
Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun kelahiran al-Zuhri antara tahun 50 H sampai tahun 58 H. ia juga tidak penah bertemu dengan ‘Abd al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. disegi lain, pada tahun 67H Palestina berada di luar kekuasaan ‘Abd al-Malik bin Marwan, sedangkan orang-orang Bani Umayyah pada tahun 68 H berada di Mekkah dalam musim haji.
Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘Abd al-Malik bin Marwan tidak mungkin mempunyai pikiran untuk membangun Qubbah al-Shakhra’ sebagai pengganti Ka’bah, kecuali setelah tahun 68 H. Sumber- sumber sejarah juga menunjukkan bahwa pembangunan Qubbah al-Shakhra’ itu baru dimulai pada tahun 69 H.[20] dan ini agaknya waktu yang tepat dimana ‘Abd al-Malik bin Marwan membenarkan idenya dengan hadis al-Zuhri. Pada waktu itu al-Zuhri berumur 10 sampai 18 tahun. Rasanya tidak logis apabila seorang anak semuda itu sudah popular dikalangan ilmuan di luar lingkungannya sendiri, sehingga mereka tunduk hanya karena ia mampu meniadakan kewajiban ibadah haji yang sudah diterangkan beratus-ratus kali baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi SAW. Sebab pada waktu tu di Syam masih banyak para sahabat dan tabi’in senior yang masih hidup, tidak mungkin mereka diam saja melihat kejadian yang ganjil itu.seandainya mereka tidak mampu menghadapi hal itu, tentulah mereka sudah mengecam ‘Abd al-Malik karena ia membiarkan hal itu terjadi dan tidak mau menggunakan kedudukan mereka sebagai sahabat dan tabi’in, tetapi ‘Abd al-Malik justru menggunakan anak kecil umur belasan tahun untuk urusan agama.
Selanjutnya, kata-kata al-Zuhri itu sebenarnya tidak menunjukkan sama sekali tentang adanya upaya untuk memindahkan ibadah haji, juga tidak meunjukkan bahwa al-Shakhra’ itu merupakan tempat suci, demikian juga tawaf di sekitarnya tidak berarti hal itu perbuatan yang baik. Kata-kata al-Zuhri itu hanya memberikan kedudukan yang khusus kepada mesjid al-Aqsha. Dan memang sudah dimaklumi bahwa mesjid al-Aqsha itu merupakan kiblat pertama uamt Islam. Selain itu, al-Zuhri sendiri sebenarnya bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis tersebut. Selain dia ada rawi-rawi lain yang dapat dipercaya, antara lain ‘Abd al-Malik bin ‘Umair, ia meriwayatkan hadis tersebut dari Qaza’ah, dari Abu Sa’id al-Khudri.[21] 
Dari beberapa sanggahan tentang tuduhan Goldziher, dapat disimpulkan bahwa apa yang dituduhkannya tidaklah benar adanya. Tentang al-Zuhri pun jika dianggap hadis tersebut palsu maka tuduhan terhadap al-Zuhri juga berlaku pada perawi lain yang meriwayatkan hadis tersebut sebagai pemalsu hadis.
2.      Sanggahan Terhadap Kritik Joseph Schacht
Sanggahan terhadap kritik Joseph Schacht terhadap naskah kuno kitab al-Muwattha’ itu merupakan naskah asli dari kitab tersebut, tidak ada dasarnya sama sekali, sebab kita tidak dapat memastikan bahwa Schacht perah menemukan kitab al-Muwattha’ yang langsung ditulis oleh Imam Malik. Sebenarnya, orang yang mengetahui bahasa dan tulisan Arab kuno akan segera mengetahui bahwa kekeliruan itu berasal atas kesalahan penulis naskah dimana ia lupa menulis huruf “sin” dalam kalimat :
و سجد الناس معه “ sehingga kalimat itu akhirnya berbunyi "و سجدنا معه"
Selanjutnya, apabila masalah ini seperti yang dituduhkan Schacht, yaitu adanya pemalsuan teks hadis lebih dahulu diiringi pemalsuan sanad kamudian, maka siapakah yang melakukannya. Apakah Malik atau Hisyam bin Urwah, sedangkan menurut penilaian umum kedua orang itu adalah cerdas dan tidak logis jika hal itu mereka lakukan.[22]
Penelitian Schacht terhadap tiga buku yang menurutnya adalah buku tentang hadis Nabi (al-Muwattha’ Imam Malik, al-Muwattha’ Syaiban, dan al-Umm Imam Syafi’i) adalah tidak tepat bila dijadikan objek penelitian hadis, karena ketiga buku itu bukan buku hadis melainkan buku fiqih. Kebanyakan buku fiqih saat ini tidak menuliskan sanad pada hadis yang mereka kutip untuk mempersingkat bahasan karena yang menjadi focus mereka adalah matannya yang menggandung hukum.[23]  
Lalu sanggahan untuk tuduhan Schacht bahwa Ibnu Sirin mengatakan bahwa penelitian sanad baru mulai pada tahun 126 H, sangat tidak masuk akal karena Ibnu Sirin sudah wafat pada tahun 110 H. menurut sejarah fitnah dalam Islam baru terjadi masa Ali bin Abi Thalib bukan masa al-Walid bin Zaid.[24]
Dari sanggahan-sanggahan yang tercantum di atas nampak bagi kita bahwa apa yang dituduhkan dan dikritik oleh para orientalis, baik itu Ignaz Goldziher maupun muridnya Joseph Schacht bertolak belakang degan hasil temuan ulama umat Islam, salah satu diantaranya adalah Muhammad Musthafa Azami selaku Guru Besar Ilmu hadits Universitas King Saud Riyadh.

C.     PENUTUP
I.                   Kesimpulan
Tidak puas dengan hanya melihat dan membiarkan umat Islam teguh pendirian dalam meyakini dan mengamalkan hadis-hadis Nabi, para orientalis dalam makalah ini Ignaz Goldziher dan muridnya Joseph Schcaht berusaha menggunakan pikiran mereka untuk mengkritik hadis-hadis tersebut. Apapun kritikan mereka mengenai hal ini tentunya para ulama Islam tidak tinggal diam pula untuk menyanggah pendapat mereka.
Hingga tampaklah bahwa tiap-tiap apa yang dikritik dan dituduhkan oleh Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht terhadap hadis, bertolak belakang dengan hasil penemuan ulama Islam, seperti hal-hal yang sudah kita bahas dalam makalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar