A.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan tugas dan
tanggung jawab bersama yang dilaksanakan secara sadar, baik dari pihak pendidik
maupun pihak terdidik. Kesadaran dalam melaksanakan pendidikan dimaksudkan
untuk mencapai kedewasaan dan kematangan berfikir yang dapat diusahakan melalui
beberapa proses pendidikan, yaitu proses pendidikan formal dan nonformal.
Sejak tahun 1980–an pertumbuhan
lembaga–lembaga pendidikan Islam Luar Sekolah yaitu pendidikan yang dikelola
oleh masyarakat di luar jalur pendidikan sekolah tampak cukup pesat, terutama
di kota–kota besar. Fenomena ini ditandai dengan munculnya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Taman Kanak–Kanak Al-Qur’an
(TKA), Madrasah Diniyah, Majelis Ta’lim, dan bentuk–bentuk pengajian keagamaan
lainnya. Bentuk–bentuk pendidikan demikian terlihat sepintas menggantikan model
pengajian Al-Qur’an di masjid atau langgar yang pernah ada sebelumnya , tapi
mengalami perubahan baik bentuk maupun isinya.[1]
Majelis ta’lim dalam pengertian sederhana adalah tempat belajar atau mencari ilmu.
Tentu yang dimaksud adalah ilmu agama Islam. Berbeda dengan lembaga pendidikan
formal yang mempunyai kurikulum baku, majelis ta’lim jauh lebih longgar, bahkan
tanpa ikatan formal sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya. kekhasan dari Majlis Ta’lim adalah
tidak terikat pada paham dan organisasi
keagamaan yang sudah tumbuh dan
berkembang. Sehingga menyerupai kumpulan
pengajian yang diselenggarakan atas dasar kebutuhan untuk memahami Islam.[2] Hal ini dilakukan sebagaimana firman Allah dalam Surat At-Taubah
ayat 122:
*
$tBur
c%x.
tbqãZÏB÷sßJø9$#
(#rãÏÿYuÏ9
Zp©ù!$2
4 wöqn=sù
txÿtR
`ÏB
Èe@ä.
7ps%öÏù
öNåk÷]ÏiB
×pxÿͬ!$sÛ
(#qßg¤)xÿtGuÏj9
Îû
Ç`Ïe$!$#
(#râÉYãÏ9ur
óOßgtBöqs%
#sÎ)
(#þqãèy_u
öNÍkös9Î)
óOßg¯=yès9
crâxøts
ÇÊËËÈ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya”(Qs. At-taubah:122)
Ayat di atas
menjelaskan bahwa Allah memerintahkan sebagian orang-orang mu’min untuk pergi
perang yang sebagian lainnya memperdalam ilmu agama (Tafaqquh Fiddiin).
Tafaqquh
Fiddiin menurut bahasa diambil dari kata Tafaqquh
dan Fiddiin. Kata Tafaqquh dari kata “Faqaha” artinya “Ghalabahu
Fil Ilmi” (mengalahkan dalam ilminya) dan dari “Faqiha” dan “Faquha”
artinya “’Alima” dan “Fahima” Isim masdarnya “Fiqh”. Tafaqqaha
artinya “ta’allama al-fiqha wa ta’athahu” (mempelajari fiqh dan
menjalankannya) dan “tafaqqaha asy-syai’a” (memahami sesuatu). Al-fiqh
artinya mengetahui sesuatu dan memahaminya.[3]
Kemudian diikutkan wazan “Tafa’’ala” menjadi “Tafaqqaha” yang
mempunyai faidah “Lish-shoiruroh”,[4]
yaitu menjadikan suatu keadaan pada keadaan lain[5]
artinya “menjadi faham, menjadi tahu” atau “mendalami”. Sedangkan fiqih menurut
bahasa berati “pemahaman, pengertian atau pengetahuan”.[6]
Berdasarkan
pengertian di atas diharapkan masyarakat yang bergabung di majelis ta’lim
memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang ajaran Islam, sehingga tidak mudah terpengaruh
oleh beberapa aliran dan pemahaman keagamaan seperti
Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, sebelumnya dikenal dengan nama Komunitas
Millah Abraham (Komar). Gerakan ini merupakan bentuk transformasi dari aliran
Al- Qiyadah, yang didirikan pada 2006 oleh Ahmad Musadeq. Gerakan
mencampuradukkan ajaran Islam, Nasrani, dan Judaisme (Yahudi) ini awalnya
berkembang di sejumlah wilayah Depok, terutama di wilayah Beji dan Cilodong.[7]
Aliran
sempalan lainnya seperti Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari India
masuk ke indonesia tahun 1935. Aliran ini mengakui bahwa Mirza Ghulam sebagai
nabi setelah Rasulullah maka mereka sesat.[8]
Melihat fenomena yang ada penulis bermaksud mengkaji lebih lanjut hal-hal
yang terkait dengan judul makalah “Peningkatan Kualitas Majelis Ta’lim dalam
Eskalasi Munculnya Aliran dan Paham Keagamaan” .
B.
Fenomena
Majelis Ta’lim di Tengah Masyarakat
Kehadiran majelis ta’lim di
masyarakat ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi majelis
ta’lim merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat terhadap upaya pencerahhan
jiwa yang bersumber dari nilai-nilai keislaman dan di sisi lain, lenturnya
manajemen keorganisasian majelis itu membuat kehadirannya bisa membaur ke semua
elemen masyarakat tanpa sekat kelas sosial.[9]
Majelis ta’lim berasal dari dua suku
kata, yaitu kata majelis dan kata ta’lim. Dalam bahasa Arab kata majelis (مجلس) adalah bentuk isim makan (kata tempat ) kata kerja dari جلس yang artinya “ tempat duduk, tempat
sidang, dewan.[10]
Kata ta’lim dalam bahasa Arab merupakan masdar dari kata kerja ( علم- يعلم-تعليم)
yang mempunyai arti “ pengajaran”.[11]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian
majelis adalah Lembaga (Organisasi) sebagai wadah pengajian dan kata
Majlis dalam kalangan ulama’ adalah lembaga masyarakat nonpemerintah yang
terdiri atas para ulama’ Islam.[12]
Adapun arti Ta’lim adalah Pengajaran , jadi menurut arti dan pengertian
di atas maka secara istilah majelis ta’lim adalah Lembaga Pendidikan Non Formal[13]
Islam yang memiliki kurikulum sendiri/aturan sendiri, yang diselenggarakan
secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak dan
bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi
antara manusia dan Allah, manusia dan sesamanya dan manusia dan lingkungannya,
dalam rangka membina masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Dari pengertian di atas tentunya majelis ta’lim mempunyai
perbedaan dengan lembaga-lembaga
lainnya, tentunya sebagai lembaga non formal memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sebagai lembaga non formal maka
kegiatannya dilaksanakan dilembaga-lembaga khusus masjid, mushola, atau
rumah-rumah anggota bahkan sampai ke hotel-hotel
2. Tidak ada aturan kelembagaan yang
ketat sehingga sifatnya suka rela.
3. Bertujuan mengkaji, mendalami dan
mengamalkan ajaran Islam disamping berusaha menyebarluaskan.
4. Antara ustadz pemberi materi dengan
jamaah sebagai penerima materi berkomonikasi secara langsung.[14]
Berarti majelis ta’lim adalah wadah
pembentuk jiwa dan kepribadian yang agamis yang berfungsi sebagai stabilisator
dalam seluruh gerak aktivitas kehidupan umat Islam Indonesia, maka sudah
selayaknya kegiatan-kegiatan yang bernuansa Islami mendapat perhatian dan
dukungan dari masyarakat, sehingga tercipta insan-insan yang memiliki
keseimbangan antara potensi intelektual dan mental spiritual dalam upaya
menghadapi perubahan zaman yang semakin global dan maju. Selain itu majelis
merupakan wadah bagi seseorang untuk mencapai tingkat tafaqquh fiddin.
C.
Fungsi
dan Tujuan Majelis Ta’lim
Sebagai lembaga yang mengurusi umat, majelis ta’lim sudah
seharusnya mendapat perhatian khususnya dalam menghadapi tantangan global
seperti saat ini. Setidaknya terdapat 3 fungsi majelis ta’lim yakni:
1. Sebagai lembaga keagamaan. Majelis ta’lim
harus mencerminkan dirinya mampu mengurusi masalah keagamaan umat.
2. Sebagai lembaga pendidikan yang
berorientasi pada dakwah, majelis ta’lim seharusnya tidak hanya mentransfer
ilmu, akan tetapi mensyaratkan adanya perubahan pada dimensi kognitif, afektif
maupun psikomatorik, sehingga nilai-nilai Islam bisa diaplikasikan dalam
kehidupan nyata.
Selain
tiga fungsi tersebut di atas sebagai contoh, FKMT Provinsi DKI Jakarta
memformat secara khusus fungsi majelis ta’lim sebagai berikut:
1. Sebagai pusat pembelajaran Islam
2. Sebagai pusat konseling Islam
3. Sebagai pusat pengembangan budaya
dan kultur Islam
4. Sebagai pusat pemberdayaan ekonomi
5. Sebagai pusat silaturrahmi,
informasi dan rekreatif.[16]
Dilihat dari segi tujuan, majelis ta’lim
termasuk sarana dakwah Islamiyah yang secara self standing dan self
disciplined mengatur dan melaksanakan berbaga kegiatan berdasarkan
musyawarah untuk mufakat demi untuk kelancaran pelaksanaan ta’lim Islami sesuai
dengan tuntutan pesertanya. Dilihat dari aspek sejarah sebelum kemerdekaan
Indonesia sampai sekarang banyak terdapat lembaga pendidikan Islam memegang
peranan sangat penting dalam penyebaran ajaran Islam di Indonesia. Disamping
peranannya yang ikut menentukan dalam membangkitkan sikap patriotismedan
nasionalisme sebagai modal mencapai kemerdekaan Indonesia, lembaga ini ikut serta
menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Dilihat dari bentuk dan sifat
pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada yang berbentuk
langgar, surau, rangkang.[17]
D.
Penataan Kurikulum Majelis Ta’lim
Dalam
prakteknya, banyak Majelis Ta’lim yang tidak menyusun atau menerapkan kurikulum
(rancangan) ta’lim sebagai dasar pengajaran. Pengurus majelis ta’lim biasanya
hanya menyerahkan pilihan materi ta’lim kepada ustadz (pengajar) tanpa konsep
yang disusun oleh Majelis Ta’lim terlebih dahulu. Seyogyanya pengurus Majelis Ta’lim
perlu membuat semacam perencanaan atau rancangan ta’lim (kurikulum) agar
kegiatan Majelis Ta’lim bisa berjalan dengan terencana, sistematis dan lebih
mudah untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah berjalan, sekaligus bisa
memberikan manfaat yang lebih baik kepada anggotanya. Salah satunya adalah
dengan menyusun sebuah kurikulum atau rancangan ta’lim yang nantinya bisa
dijadikan dasar pengajaran bagi Majelis Ta’lim itu sendiri.
Dalam penataan kurikulum yang dapat menunjang
keberhasilan pembinaan dari majelis ta’lim tersebut perlu diperhatikan beberapa
hal di antaranya:
1)
Penetapan
standar kompetensi yang akan dituju dari pengajian yang dilakukan. Seperti:
·
Jamaah dapat
mengagumi, mencintai dan mengamalkan Al-Quran serta menjadikannya sebagai
bacaan istimewa dan pedoman utama.
· Jamaah dapat
memahami serta mengamalkan Dinul Islam dengan segala aspeknya dengan benar dan
proposional.
· Jamaah menjadi
muslim yang kaffah dan memiliki akhlakul karimah.
· Jamaah bisa melaksanakan
ibadah harian yang sesuai dengan kaedah-kaedah keagamaan secara baik dan benar.
· Jamaah mampu
menciptakan hubungan silaturahim dengan baik.
· Jamaah bisa
meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang lebih baik.
2)
Pembinaan
Materi pengajian. Sebaiknya materi pengajian yang diberikan meliputi enam
sasaran yaitu; pembacaan al-Qur’an, ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, aqidah,
syari’ah, akhlak dan sejarah Islam. Materi ini sebaiknya diberikan dalam bentuk
kurikulum tetap, sehingga jamaah dalam menyerap materi yang disampaikan
berkesinambungan sekaligus sebagai panduan pokok pembimbing pengajian.
Penyusunan kurikulum pengajian dapat disesuaikan dengan kebutuhan materi dari
pada jamaah pengajian.[18]
Dengan memperhatikan beberapa hal yang disebutkan
di atas, diharapkan dengan ditetapkannya kurikulum yang ditetapkan oleh majelis
ta’lim dapat membimbing jamaahnya sampai pada tingkat pemahaman agama yang
tepat. Pemahaman yang akan menjadi benteng mereka menghadapi berbagai macam
paham-paham keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
E.
Kualitas
Majelis Ta’lim Terhadap Eskalasi Munculnya Aliran dan Paham Keagamaan
Sebagai lembaga keagamaan dan pendidikan
yang berorientasi pada dakwah, majelis ta’lim harus mampu mengurusi masalah
keagamaan umat dan menjadi wadah menuntut ilmu. Dalam memahami teks keagamaan
di kalangan masyarakat Indonesia berkembang dua model penafsiran. Pertama
penafsiran secara tekstual dan kedua kontekstual. Dari penafsiran secara
kontekstual memunculkan pemahaman keagamaan yang bersifat liberal. Menurut
mereka yang bersifat liberal, pemahaman keagamaan (tafsir) selama ini mengalami
kemandegan.[19]
Hal ini berakibat pada adanya perbedaan paham antar umat Islam hingga muncul
berbagai aliran sempalan.
Martin Van Bruinessen berpendapat,
dibaca dari perspektif sosiologis, kemunculan aliran sempalan itu sebenarnya
tidak terlalu problematik, tetapi memang akan sangat bermasalah ketika ditinjau
dari sisi politik dan paham keagamaan mayoritas umat Islam pada saat itu.[20]
Said Aqiel Siradj menyatakan bahwa
monoton dan banyaknya nuansa ketidakseriusan dari materi dakwah yang
disampaikan diduga kuat menjadi pemicunya. Kondisi ini diperparah ketika dakwah
tidak lagi bersifat mengajak, tetapi lebih terkesan memprovokasi, sehingga
dengan mudah sekali memunculkan kebencian di kalangan umat.[21]
Namun begitu, Majelis ta’lim mesti
mampu menjawab tantangan ini dengan melahirkan orang-orang yang memiliki ilmu dan tafaqquh fiddin. Dengan begitu setiap aliran dan paham
keagamaan yang telah muncul dan akan muncul di dunia ini tidak akan mampu memberikan
pemahaman yang salah pada jiwa yang dipenuhi ilmu dan pemahaman agama yang
tepat.
Firman Allah pada
surat Az-zumar ayat 9 :
3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt ……. ÇÒÈ
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(Qs.
Az-zumar:9)
Potongan
ayat di atas membandingkan antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang
yang tidak mengetahui (tidak berilmu). Terkait hal itu, dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa tidak akan sama antara orang
berilmu dan orang bodoh. [22]
Dengan
begitu jelas bahwa tidak akan bisa disamakan antara orang yang berilmu dengan
orang yang tidak berilmu. Bahkan Allah meninggikan kedudukan orang yang berilmu
beberapa derjat dibandingkan orang yang tidak berilmu. Sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-mujadillah ayat 11:
Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ÇÊÊÈ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat…”.(Qs.Al-Mujadillah:11)[23]
Ayat lain tentang menuntut ilmu
yakni firman Allah surat An-nahl: 43
... فَسئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Artinya
:
“… maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Qs. An-nahl :43)
Ayat di
atas memerintahkan untuk bertanya tentang ilmu pengetahuan bagi orang yang
tidak mengetahuinya, terutama pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama, tentang
nabi-nabi dan tentang kitab-kitab Allah. Perintah bertanya tentang ilmu di sini
berarti perintah untuk mendalami ilmu pengetahuan terutama pengetahuan tentang
agama dalam bentuk pendalaman agama (tafaqquh fiddin). Sesuai dengan
firman Allah surat At-taubah ayat 122 :
* $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.” (Qs.At-taubah: 122).[24]
F.
PENUTUP
Kesimpulan
Peningkatan kualitas majelis
ta’lim sangat diperlukan guna menjawab tantangan akan eskalasi munculnya aliran
dan paham keagamaan. Sasaran akhirnya adalah tingkat tafaqquh fiddin
akan diperoleh oleh jamaah majelis ta’lim yang berkualitas, dengan begitu
apapun aliran dan paham keagamaan yang ada tidak akan mudah merobah pendirian
dan pemahaman seseorang yang beramal berdasarkan ilmu.
Pada dasarnya aliran dan paham
keagamaan yang ada saat ini merujuk pada sumber yang sama yakni al-Qur’an dan
sunnah, hanya saja dalam memahami ayat dan hadits terdapat perbedaan pemahaman
sehingga lahirlah aliran dan paham keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam da
nada juga aliran dan paham sempalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar