A. Pendahuluan
Hadis merupakan sumber ajaran yang
ke-2 dalam agama Islam setelah Al-Qur’an. Sebelum hadis ada tentu Al-Qur’an
lebih dulu adanya, begitupun dengan penulisan dan pembukan, Al-Qur’an lebih
dulu ditulis dan dibukukan dibandingkan hadis. Hal ini dikarenakan, salah satu
fungsi hadis adalah menjelaskan apa yang belum jelas dalam Al-Qur’an, dan ada
larangan untuk membukukan Al-Qur’an dan hadis dalam waktu yang sama, karena
khawatir akan bercampurnya antara Al-Qur’an dan hadis.
Penulisan Al-Qur’an sudah dilakukan
sejak masa Nabi Muhammad SAW, dan dibukukan pada masa khalifah Usman bin Affan,
sedangkan penulisan hadis kabarnya juga sudah ada pada masa Nabi, namun
pembukuannya pada masa tabi’in. lalu, apakah benar demikian adanya atau penulisan
dan pembukuan hadis dilakukan pada waktu yang sama yakni masa tabi’in ?.
Sedangkan pada abad pertama Hijrah, mulai dari zaman rasul, masa khulafa
rasyidin dan sebagian besar zaman Amawiyah, hingga akhir abad pertama Hijrah,
hadits-hadits sudah ada yang berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing
perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya. Pada masa itu
mereka belum mempunyai motif- motif yang menggerakkan mereka untuk
membukukannya.
Dari pernyataan dan pertanyaan di
atas, maka dalam makalah ini pemakalah akan mencoba membahas kapan sebenarnya
pembukuan hadis dimulai, apa saja upaya yang dilakukan, bagaimana hasilnya dan bagaimana
pula perkembangannya ?
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
kodifikasi ( Al- Tadwin) dan penulisan (Al-Kitabah), serta perbedaan
antara keduanya
Ada dua istilah yang sering ditemukan dalam literature ilmu hadis
yang dipakai untuk arti menulis hadis. Yakni, istilah tadwin dan kitabah.
Secara operasional keduanya memiliki pengertian yang berbeda.
Istilah tadwin menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, dari kata dawwana-yudawwinu
yang berarti penyusunan yang berserakan, pengumpulan, penilaian, peraturan dan
perundang-undangan.[1]
Dalam bahasa popular disebut kodifikasi. Istilah ini berasal dari bahasa
Inggris, codification yang berarti penyusunan secara sistematis.[2]
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kodifikasi diartikan
sebagai hal penyusunan kitab perundang-undangan.[3]
Selain
itu, Dr. Muhammad ibn Mathar Al- Azharani mengatakan bahwa pengertian tadwin
adalah sebagai berikut :[4]
تَقْيِيْدُ
الْمُتَفَرّقِ الْمُشَتَّتِ وَ جَمْعُهُ فِيْ دِيْوَانٍ اَوْ كِتَابٍ تَجْمَعُ
فِيْهِ الصُّحُفُ
“ mengikat yang
berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang
terdiri dari lembaran-lembaran.”
Menurut Munzier Suparta, tadwin adalah pembukuan
(kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara, dengan
melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya. Bukan yang dilakukan secara
perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada Rasul
SAW.[5]
Sedangkan
Manna’ Al-Qattan memberikan definisi tadwin tersebut sebagai berikut :[6]
التدوين
فإنه جمع المكتوب من الصحف و المحفوظ في الصدور و ترتيبه حتى يكون في كتاب واحد.
“ Tadwin maka
sesungguhnya mengumpulkan tulisan dalam lembaran-lembaran dan hafalan-hafalan
yang ada dalam dada, kemudian menempatkannya secara sistematis dalam sebuah
buku.”
Adapun istilah kitabah
berasal dari bahasa Arab, kataba- yaktubu, kitaban, kitabatan yang
berarti menulis kitab.[7]
Manna’ al-Qattan memberikan definisi kitabah adalah proses untuk seseorang yang menulis sebuah shahifah
atau lebih. [8]
Tentang hal ini
, A. Rahman Ritonga, mendefinisikan kitabah berarti penulisan yang
dilakukan oleh sahabat secara diam-diam berdasarkan inisiatif pribadi untuk kepentingan
diri sendiri. Pengerian kitabah yang lebih sistematik dan sederhana
ialah penulisan hadis berdasarkan inisiatif yang dilakukan secara rahasia
diatas pelepah tamar, tulang-tulang unta, dan benda-benda lain untuk
kepentingan pribadi yang tersimpan dalam shahifah.[9]
Dari beberapa
definisi tadwin dan kitabah di atas, maka terlihat adanya
persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Adapun persamaan
antara keduanya ialah bahwa kegiatan menulis dengan sistem tadwin dan kitabah
sama-sama bertujuan memelihara keaslian
hadis. Sedangkan perbedaan antara keduanya adalah :
1.
Tadwin
dilakukan berdasarkan instruksi kepala Negara, sedangkan kitabah berdasarkan
inisiatif pribadi.
2.
Tadwin
dilakukan secara resmi, kitabah dilakukan secara diam-diam.
3.
Hasil
tadwin berbentuk buku yang dilakukan oleh beberapa orang ahli/tim, sedangkan
kitabah berbentuk shahifah dan dilakukan oleh perorangan
2.
Sejarah
hadis masa kodifikasi
a.
Latar
belakang ide pengkodifikasian hadis
Di kala kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abd Aziz yang
dinobatkan pada tahun 99 H. seorang khalifah yang terkenal adil dan wara ini,
berniat untuk membukukan hadis. Beliau sadar bahwa para perawi yang
membendaharakan hadis dalam dadanya, kian lama kian banyak yang meninggal.
Beliau khawatir apabila hadis- hadis itu tidak segera dikumpulkan dan
dibukukan, maka akan lenyap begitu saja bersama meninggalnya para penghafal
hadis.
Adapun hal-hal yang melatarbelakangi sikap Umar ibn Abd Aziz
mengirim perintah demikian adalah pertama, ia khawatir terhadap hilangnya hadis-hadis dengan
meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir juga akan
tercampurnya antara hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis yang palsu. Di
pihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara
kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat
memerlukan adanya usaha kodifikasi ini. [10] hal
ini tercantum dalam buku Ilmu Hadis karangan Drs. H. Mudasir. [11]
Selain dari faktor-faktor yang disebutkan di atas, Mustafa Muhammad
al-Sa’id Abu ‘Imarah, dalam bukunya yang berjudul Al-Irsyad fi ‘Ulum
al-Hadis, menambahkan bahwa faktor yang
melatarbelakangi munculnya ide pengkodifikasian hadis adalah karena hilangnya ‘ilat
larangan dalam pembukuna hadis karena Al-Qur’an sudah melekat erat di dalam
dada umat Islam dan mereka sudah mempelajari al-Qur’an dengan uslub-uslubnya,
sehingga tidak khawatir lagi bercampurnya dengan hadis. Kemudian, faktor
lainnya adalah terjadinya pembauran antara orang-orang Arab dengan orang-orang A’jam
(non Arab), dimana mereka lemah dalam memahami bahasa Arab apalagi uslub-uslubnya.[12]
A. Rahman Ritonga, seperti yang dikutipnya dalam buku Dhuha
al-Islam karya Ahmad Amin, menyatakan bahwa salah satu faktor yang melatar belakangi munculnya ide
pengkodifikasian hadis adalah adanya keinginan khalifah untuk mengetahui apa
saja ajaran agama yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan itu pada
umumnya diriwayatkan melalui ingatan para sahabat. [13]
Ada juga yang mengatakan bahwa Umar
bin Abdul Aziz hidup dalam iklim ilmiah yang sangat kondusif. Maka menurut
Muhammad ‘Ajaj al-Khatihib pengarang buku Usul al-Hadis Pokok-pokok Ilmu Hadis,
bahwa keinginan Umar untuk membukukan hadis dilatarbelakangi oleh semangat
ilmiah tabi’in dan kebolehan yang mereka lontarkan untuk menulis hadis saat
itu, yakni tatkala sebab-sebab pelarangannya telah sirna. Seandainya mereka
tidak menyukainya, tentu mereka tidak
akan memenuhi panggilan beliau. Dan alasan yang tak bisa diragukan lagi adalah
bahwa adanya kekhawatiran hadis akan terabaikan.[14]
b.
Upaya
dan hasil yang dicapai
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz
langsung menurunkan instruksi kepada seluruh pejabat di daerah agar
melaksanakan gerakan penulisan hadis. Khalifah, secara khusus mengirim instruksi
kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm.[15]
Pada referensi lain disebutkan, pada tahun 100 H khalifah meminta
kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm supaya
membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal,
yaitu : Amrah bint Abdir Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn ‘Ades, seorang ahli
fiqih, murid ‘Aisyah ra. Dan hadits- hadits yang ada pada Al Qasim ibn Muhammad
ibn Abi Bakr Ash Shiddieq, seorang pemuka tabi’y dan salah seorang fuqaha
madinah yang tujuh ( Al-Qasim, ‘Urwah ibn Zubair, Abu Bakr ibn Abdir Rahman,
Sa’id ibn Musaiyab, Abdillah ibn Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, Kharijah ibn
Zaid ibn Tsabit, dan Sulaiman ibn Yassar). [16]
Adapun isi
instruksi Umar ibn Abd Aziz kepada Abu Bakr ibn Hazm ialah :
انظرو إلى حديث رسول
الله صلى الله عليه و سلم فاكتبوه فإني خفت دروس العلم وذهاب أهله (وفي رواية ذهاب
العلماء) ولا تقبل إلا حديث النبي صلى الله عليه و سلم
“Perhatikanlah atau
periksalah Hadis-hadis Rasul SAW. Kemudian tuliskanlah ! Aku khawatir akan
lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama ( para ahlinya). Dan janganlah
kamu terima kecuali Hadis Rasul Saw.” [17]
Senada dengan hal di atas, ada juga yang mengatakan bahwa usaha
pembukuan hadits dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh
khalifah Umar bin abdul Aziz ( khalifah ke delapan dari kekhalifahan Bani
Umayah), melalui instuksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan
mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn
Amr ibn Hazm ( Gubernur Madinah), hanya saja disini tidak ada perintah
membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal
maupun seorang pemuka tabi’in dan salah seorang fuqaha madinah yang tujuh.[18]
Disamping
itu ‘Umar juga mengirim surat-suratnya kepada
Gubernur ke serata wilayah yang di bawah kekuasaannya supaya berusaha
membukukan hadits yang ada pada ulama yang ada di wilayah mereka masing-masing.
Diantara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu adalah :
Abu Bakr Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Az Zuhry, seorang ahli
dalam bidang fiqih dan hadits. [19]
Dan Abu Bakar
Ibn Hazm tidak membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Membukukan seluruh
hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Al Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihah
Az-Zuhry. Yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama
hadis di masannya.[20]
Az- Zuhry
adalah orang pertama yang mampu memenuhi keinginan Khalifah dengan menyusun
satu naskah untuk Khalifah. Namun naskah ini masih amat sederhana, belum dapat
diketegorikan sebagai buku hadis. Meskipun demikian, Az-Zuhry merasa bangga
dengan karyanya itu. Hal ini diungkapnya dalam perkataan :[21]
لم يدون هذا العلم
احد قبل تدوينى
“Belum ada seorang pun
ahli hadis yang mampu membukukan hadis ini sebelum saya”
Menurut para
ulama, hadis- hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn masih kurang lengkap,
sedangkan hadis- hadis yand dihimpun oleh Ibn Syihab Az-Zuhry dipandang lebih
lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap
sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang. [22]
Pembukuan hadis
pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutan
bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh
orang setelah Az-Zuhry dengan cara yang berbeda- beda, sebagian besar
diantaranya mengumpulkan hadis Nabi SAW yang bercampur dengan perkataan sahabat
dan fatwa para tabi’in. kemudian para ulama hadis menyusunan secara sistematis
dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.[23]
Akan tetapi tidak
dapat diketahui lagi, yang mula-mula membukukan hadis sesudah Az- Zuhry itu,
karena ulama-ulama tersebut yang datang sesudah Az Zuhry seluruhnya semasa.
Para pengumpul pertama hadis yang
tercatat dalam sejarah :[24]
1.
Pengumpulan
pertama di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H= 669 M- 150 H= 767 M)
2.
Pengumpulan
pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (…H= 151 M-…H= 768 M) atau Malik
ibn Anas (93 H= 703 M-179 H= 798M)
3.
Pengumpulan
pertama di kota Bashrah, Al Rabi’ ibn Shabih (…H=…M- 160 H=777M), atau Sa’id
ibn Abi Arubah ( 156 H= 773 M)
4.
Pengumpulan
pertama di Kufah, Sufyan Ats Tsaury ( 161 H)
5.
Pengumpulan
pertama di Syam, Al Auza’y ( 156 H)
6.
Pengumpulan
pertama di Wasith, Husyaim Al Wasithy (104 H=772 M-188H= 804 M)
7.
Pengumpulan
pertama di Yaman, Ma’mar Al Azdy ( 95 H=753M- 152 H= 770M)
8.
Pengumpulan
pertama di Rei, Jarir Al Dlabby (110 H= 728 M- 188H= 804 M)
9.
Pengumpulan
pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (188 H=735 M-181 H=797 M)
10.
Pengumpulan
pertama di Mesir, Al Laits ibn Sa’ad ( 175 H)
Pada abad 2 Hijriah penghimpunan dan penulisan hadis beralih kepada
penyusunan hadis ke dalam bab- bab, dan mengumpulkan satu bab dengan yang
lainnya dalam satu “mushannaf” atau “jami’”. Jadi awal abad 2 Hijriah bukanlah
awal kodifikasi hadis, tetapi awal penyusunan karya-karya hadis. Karya- karya
itu muncul dalam waktu yang berdekatan di berbagai pusat kegiatan ilmu di
kawasan Islam. Kemudian muncullah musnad- musnad dan kitab- kitab shahih.
Dengan demikian kodifikasi hadis telah melampaui berbagai tahap, sampai ke
tangan kita melalui kitab- kitab shahih dan kitab- kiatb musnad.[25]
Adapun proses kodifikasi hadis dan hasil yang dicapai, dalam buku
Studi Ilmu-Ilmu Hadis, sebagai mana yang dikutipnya A. Rahman Ritonga pada buku
Tadwin
Al- Sunnah Al- Nabawiyah, Nasy’atihi wa tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila
Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’ al-Hijri karangan Muhammad ibn Mathar Al- Azharani . secara rinci menjelaskan bahwa proses kodifikasi hadis adalah sebagai
berikut:
1.
Kodifikasi
hadis pada Abad ke-2 H
Di abad ke- 2
ini ada dua generasi yang terlibat dalam proses kodifikasi hadis yaitu :
a.
Shighar
al-Tabi’in
Kehadiran generani tabi’in ini memiliki peran penting dalam
membukukan hadis. Peranan mereka telah dimulai sejak pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz. Proses pembukuan hadis di masa mereka melalui tiga tahap, yaitu :
a)
Al-Jam’u yaitu
menghimpun semua hadis yang ada dalam hafalan sahabat dan tabi’in serta
catatan-catatan yang tertulis dalam shahifah mereka.
b)
Penelitian
atau menyeleksi mana yang diyakini sebagai hadis dan mana yang merupakan
perkataan sahabat dan tabi’in
c)
Penulisan,
yaitu penulisan hadis pada satu buku yang menjadi pegangan bagi umat Islam
secara keseluruhan.[26]
Pada referensi lain ditemukan bahwa, perkembangan usaha pembukuan
hadis pada periode tabi’in ada 3 bentuk :
1.
Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tipa-tiap sahabat tanpa
memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti fikih, dan kualitas
hadisnya ada yang shahih, hasan, dan dho’if. Misalnya, semua hadis Nabi yang
diperoleh seseorang periwayat dari Abu Hurairah dikelompokkan pada bab
hadis-hadis Abu Hurairah, hadis-hadis yang didapatkan dari Abdullah bin Abbas
dikelompokkan pada bab Abdullah bin Abbas, dan seterusnya. Kitab hadis yang
disusun secara musnad ini misalnya, musnad imam Ahmad bin Hambal
(164-241 H), dan musnad Ahmad bin Rahawaih (161- 238 H)
2.
Al-jami’, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengkumulasi sembilan masalah
yakni aqa’id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir,
tarikh dan sejarah, sifat-sifat akhlak (syamail), fitnah dan sejarah (manaqib).
Misalnya kitab Al-Jami’ ash-Shahih li Al-Bukhari, Al-Jami’ ash-Shahih
li muslim dan Jami’ Al-Tirmizi. Kualitas kitab Al-Bukhari dan
muslim shahih semua sebagaimana nama kitab yang menyebutkan kata Ash-Shahih,
sedangkan kitab Al-Tirmizi sama dengan kitab sunan, ada yang shahih, hasan dan
dha’if
3.
Sunan, teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fikih, setiap bab
memuat hadis dala satu topik. Seperti Sunan An-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, dan
Sunan Abu Daud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dha’if akan
tetapi tidak terlalu banyak dha’if seperti hadis munkar.[27]
b.
Tabi’
Tabi’in
Dalam
silsilah periwayatan hadis, tabi’ tabi’in
merupakan generasi sesudah sahabat dan tabi’in. perkembangan
pembukuan hadis pada masa ini adalah :
a) Pembukuan hadis masih bercampur antara perkataan Nabi, sahabat dan tabi’in
b) Cara pembukuan dilakukan dengan penyatuan hadis yang sama dalam
satu bab dan satu karangan
c) Materi hadis yang dikumpulkan berdasarkan shufuf-shufuf,
karena kertas dan catatan yang ditulis pada masa sahabat dan tabi’in.
d) Di antara hasil pembukuan hadis yang terkenal pada masa ini adalah
:
1) Kitab al-Muwatta’ yang dikarang oleh Imam malik
2) Al- Musnad, kitab hadis yang disusun dengan mencantumkan nama-nama sanadnya
secara lengkap, seperti Musnad Abu Daud
3) Al- Jami’ yang merupakan kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah,
yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan
Rasulullah, akhlak serta perbuatan baik buruk. [28]
Berkaitan
dengan hal di atas, ada juga yang menjelaskan bahwa para ulama abad ke-2
membukukan hadis dengan cara menyaringnya, yakni : mereka tidak membukukan
hadis-hadis saja, fatwa-fatwa sahabatpun dimasukkan ke dalam bukunya, bahkan
fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan dalam kitab yang sama.
Maka terdapatlah dalam kitab- kitab itu hadits marfu’ hadits-hadits mauquf dan
hadits-hadits maqthu’. [29]
2.
Kodifikasi
hadis pada Abad ke-3 H
Abad ke-3 merupakan masa keemasan atau kemajuan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan Islam secara umum dan ilmu hadis secara khusus. Sebagian ulama
memandang abad ke-3 inilah abad gerakan pembukuan hadis.
Banyak ulama yang melakukan rihlah dalam mencari satu hadis
untuk dibukukan. Pembahasan mengenai rijalul hadis telah meluas sampai
ke berbagai kota di jazirah Arab. Sehingga muncullah berbagai kitab diantaranya
al- masanid, Kutub al-sittah, al-shihah dan al-sunnah yang menjadi pegangan dan
rujukan para ulama dan umat Islam umumnya.[30]
Pada periode ini muncul pula huffazh hadis dan juga kritikus atau ulama yang
cemerlang dalam membahas dan menganalisis kebenaran suatu hadis. Diantara
mereka adalah Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Ali ibn al-Madini, Yahya
ibn Mun’in, Abu Abdillah al-Bukhari, Abu Hatim al-Razi dan Muslim ibn Hujjah.[31]
Perkembangan hadis pada abad ini jauh lebih baik dari abad
sebelumnya, karena para ahli hadis sudah memisahkan dan memilih hadis yang
sahih saja dan menyusunnya menurut tema pembahasan. Selanjutnya dilakukan
kodifikasi secara sistematis.
Kemudian muncullah ulama hadis terkemuka yang membukukan hadis
secara sistematis, diantaranya :
1)
Imam
Bukhari yang menyusun kitab Shahih al-Bukhari
2)
Imam
Muslim yang menyusun kitab Shahih Muslim
3)
Abu
Daud yang menyusun kitab Sunan Abi Daud
4)
Al-Turmudzi
yang menyusun kitab Sunan al-Turmudzi
5)
Al-Nasa’I
yang menyusun kitab Sunan al-Nasa’i
6)
Ibnu
Majah yang menyusun kitab Sunan Ibn Majah
Keenam kitab tersebut di kalangan ahli hadis dikenal dengan al-kutub
al-sittah yaitu kitab hais yang diakui memenuhi syarat standar untuk
dijadikan rujukan hadis, karena di dalamnya sudah mewakili hadis-hadis yang ada
pada kitab lain.[32]
Disamping
lahirnya kitab kutubu sittah, juga muncul kitab-kitab hadits lain yang
dianggap telah dapat memenuhi kebutuhan umat Islam terhadap hadits. Adapun
kitab-kitab tersebut adalah :
1.
Al-Musnad,
susunan Musa bin Abdillah al-Abasi
2.
Al-Musnad,
susunan Musaddad bin Musarhad
3.
Al-Musnad,
susunan Asad bin Musa
4.
Al-Musnad,
susunan Abu Daud Ath-Thayalisi
5.
Al-Musnad, susunan Nu’aim bin Hammad
6.
Al-Musnad,
susunan Abu Ya’ala al-Maushili
7.
Al-Musnad,
susunan al-Humaidi
8.
Al-Musnad,
susunan Ali al-Madaidi
9.
Al-Musnad,
susunan Abd bin Humaid
10.
Al-Musnad,
al-Mu’allal, susunan al-Bazar
11.
Al-Musnad,
susunan Baqi bin Makhlad
12.
Al-Musnad,
susunan Ibnu Rahawaih
13.
Al-Musnad,
susunan Ahmad bin Hanbal
14.
Al-Musnad,
susunan Muhammad bin Nashr al-Marzawi
15.
Al-Musnad,
susunan Abu Bakr bin Abi Syaibah
16.
Al-Musnad,
susunan Abu al-Qasim al-Baghlawi
17.
Al-Musnad,
susunan Usman bin Abi Syaibah
18.
Al-Musnad,
susunan Abu al-Husain bin Muhammad al-Masarkhasy
19.
Al-Musnad,
susunan ad-Darimy
20.
Al-Musnad,
susunan Said bin Manshur
21.
Tahdzib
al-Atsar, susunan al-Imam Ibnu Jarir
22.
Al-Jami’
al-Shalih
23.
Al-Muntaqa,
susunan Ibnu Jarad
24.
At-Thabaqah,
susunan Ibnu Sa’ad[33]
Setelah abad
kedua dan ketiga hijriah perkembangan pembukuan hadis tersebut terus berlanjut
dengan lebih baik lagi serta semakin banyak hadis Nabi Muhammad SAW. Semua ini
bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kelestarian hadis Rasul sebagai pedoman
hidup umat Islam setelah Al-Qur’an.[34]
c.
Perkembangan
usaha pembukuan hadis
Seperti diketahui bahwa abad ke-3
Hijriyah merupakan abad yang paling gemilang bagi perkembangan hadits. Pada
abad tersebut lahir tokoh-tokoh dan imam-imam terkenal dalam periwayatan
hadits. Mereka mengumpulkan dari hafalan-hafalan dari umat islam yang mempunyai
informasi hadits, bukan menukilkannya dari kitab yang telah ditulis.
Adapun perkembangan hadis pada abad-4
H yaitu para ulama sangat memperhatikan sanad yang disusun oleh ulama hadits
pada abad-3 H. Abad ini disebut juga dengan masa penghimpunan dan penertiban (Al-Jami’u
wa al Tartib). Ulama mutaqaddimin menghimpun hadits Nabi dengan cara
langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri
baik dari matan dan sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan
perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang
lain. Sedangkan ulama mutaakkhirin cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi
dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak
penambahan hadits pada abad ini, namun dari segi tekhnik pembukuan lebih
sistematik dari pada masa-masa sebelumnya.[35]
Diantara
kegiatan pengkodifikasian hadits pada periode 4-6 H adalah dalam bentuk mu’jam
(Ensiklopedi), shahih (himpunan shahih saja), mustadrak (susunan shahih),
sunan, Al-Jam’u (gabungan dua atau beberapa kitab hadits), ikhtisar (resume),
istihraj, dan syarah (ulasan). Adapun perkembangan tekhnik pembukuan hadits pada
abad ini yakni pada abad ke-4 sampai ke-6 H sebagai berikut :
1.
Mu’jam,
artinya penghimpunan hadits yang diperoleh berdasarkan nama sahabat
secara abjad (alphabet) seperti al-Mu’jam al-Kabir Sulaiman bin
Ahmad Ath-Thabrani, atau diartikan seperti kamus ialah penghimpunan hadits
didasarkan pada nama masyafiknya atau negeri tempat tinggal atau kabilah
secara abjad.
2.
Shahih,
artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits Shahiyun
(Al-Bukhari dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shahih saja
menurut penulisnya seperti Shahih Ibn HibbanAl-Basti.
3.
Al-Mustadrak,
artinya menambah beberapa hadits shahih yang disebutkan dalam kitab
Al-Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya,
seperti Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahiyah yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim
An-Naisaburi (w. 405 H).
4.
Sunan,
metode penulisannya seperti kitab Sunan abad sebelumnya,
yakni cakupannya hadits-hadits tentang tentang hukum seperti fikih dan
kualitasnya meliputi shahih, hasan, dan dhaif, seperti Muntaqa Ibn Al-Jarud
(w. 3-7 H), Sunan Ad-Daruqhutni (w. 385 H), dan Sunan Al-Bayhaqy (w. 458
H)
5.
Syarah,
yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau
matan, terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika
terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain, misalnya Syarh
Ma’ani Al-Atsar, dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-Thanawi
(w.321 H)
6.
Mustakhraj¸ ialah seorang penghimpunan hadits mengeluarkan beberapa buah
hadits dari sebuah buku hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri
dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya mustakhraj Abi Bakr Al-Isma’il
‘ala Shahih Bukhari (w. 371 H)
7.
Al-Jam’u,
gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, Al-Jam’u
Bayn Ash-Shahiyun yang ditulis oleh Isma’il bin Ahmad yang dikenal dengan
Ibnu Al-Furat (w. 401 H), Al-Jam’u Bayn Ash-Shahiyun ditulis Al-Husain bin
Mas’ud Al-Baghlawi (w. 516 H), At Tajrid li Ash-Shahah wa As-Shahah As-Sunan
gabungan Shahiyun, Al-Muwaththa’, dan kitab sunan-sunan selain Ibnu Majah,
ditulis Abu Al-Hasan Razin bin MuawiyahAs-Sirqisthi (w. 535 H) dan Jami’
Al-Ushul Ahadits Ar-Rasul yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H)
gabungan enam kitab sittah.[36]
Pada abad
berikutnya 7-8 H dan berikutnya disebut masa penghimpunan dan pembukuan hadits
secara sistematik (Al-Jam’u wa al-Tanzhim). Setelah pemerintahan
Abbasiyah jatuh ketangan bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat
pemerintahan dari Baghdad ke Cairo Mesir dan India. Pada masa ini banyak kepala
pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits seperti al-Barquq.
Jalan-jalan yang ditempuh oleh ulama-ulama masa ketujuh ini ialah menertibkan
isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta
membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits
hukum, mentakhrijkan hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab yang
terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.[37]
Perkembangan
penulisan hadits pada abad ini intinya adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis
terdahulu secara sistematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan
bagi umat islam untuk mempelajarinya adalah sebagai berikut :
1.
Al-Maudhu’at,
yaitu menghimpun hadits-hadits yang maudhu’ (palsu) saja
kedalam sebuah buku, seperti Al-Maudhuat ditulis oleh Al-Asbahani (w.
414 H), Al-Maudhu’at ditulis oleh Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H), dan Al-la’ali
Al-Mashuat fi Al-Ahadits Al-Maudhuat oleh Jalauddin As-Suyuty (w. 911 H).
2.
Al-Ahkam,
yaitu menghimpun hadits-hadits tentang hukum saja seperti
fikih, misalnya Al-Ahkam Al-Kubra ditulis
oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H), Umdah Al-Ahkam oleh Al-Maqdisi
(w. 600 H), dan Bulugh Al-Maram oleh Al-Asqalani.
3.
Al-Athraf, artinya tekhnik pembukuan hadits dengan menyebutkan permualan haditsnya
saja, misalnya Athraf al-Kutub al-Sittah (Atgraf kitab enam yaitu shahiyun
dan kitab-kitab Sunan selain Ibnu Majah) ditulis oleh Al-Maqdish
dikenal Ibnu Al-Qisrani ( w. 507 H)
4.
Tahkrij,
yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadits yang ada dalam
buku hadits atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau
ditelusuri sanad dan kualitasnya. Misalnya Irwa’ Al-Ghalil.
5.
Zawa’id,
yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti Musnad dan
Mu’jam ke beberapa buku induk hadits. Misalnya, Majma’ al-Zawaid wa
manba’ Al-Fawaid ditulis oleh Al-Haitami. Atau zawaid diartikan
mengumpulkan hadits-hadits yang tak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya
kedalam sebuah kitab tertentu, seperti Zawaid Ibn Majah dan Zawaid
As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bashri (w. 840 H)
6.
Jawami’
atau jami’, sebuah kitab hadits yang menghimpun
hadits-hadits Nabi secara mutlak, seperti Al-Jami’ Al-Kabir yang dikenal
dengan sebutan Jami’ Al-Jawami dan
Al-Jami’ Ash-Shaghir tulisan Ash-Suyuthi (w. 911 H).
Perkembangan penulisan dan
pengkodifikasian hadits sampai pada abad 12 H. mulai abad terakhir ini sampai
sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam
bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah
hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
Skema
Perkembangan Pembinaan dan Penghimpunan Hadis. [38]
No
|
Periode
|
Perkembangan
|
Karakteristik
penulisan
|
Model Buku
|
1.
|
Masa Nabi Muhammad
|
Larangan penulisan (nahyu al kitabah)
|
Hadits dihafal diluar kepala
|
Catatan pribadi dalam bentuk shahifah(lembaran)
|
2.
|
Masa sahabat
|
Penyederhanaan periwayatan (Taqli Ar-Riwayah) pada masa
khulafur Rasyidin dan masa perlawatan hadits (Rihlah Ilmiah) masa
setelahnya.
|
Disertai sumpah dan saksi pada masa Khulafur Rasyidin dan disertai
sanad pada masa setelahnya
|
Catatan pribadi dalam bentuk shahifah (lembaran)
|
3.
|
Masa Tabi’in
|
Penghimpunan hadits (Al-Jam’u wa Al-Tadwin)
|
Bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat dan qauli sahabat
|
Shahifah mushannaf, muwattha’, Musnad dan Jami’
|
4.
|
Masa Tabi’ Tabi’in
|
Kejayaan kodifikasi hadits (Azha Al-Ushur Sunnah)
|
Filterisasi dan klasifikasi (‘Ashr Al-Jami’wa At-Tashih)
|
Musnad, jami’, dan Sunan
|
5.
|
Masa setelah Tabi’ Tabi’in (abad-4 H dan seterusnya)
|
Penghimpunan dan penertiban secara sistematik (Al-Jam’u wa At-
Tartib wa at-Tanzhim)
|
Bereferensi (Muraja’ah) pada buku-buku sebelumnya tetapi
lebih sistematik
|
Mu’jam, Mustadrak, Mustakhraj, Ikhtisar, dan Syarah, Zawaid,
Jami’, Jawami’, Athraf, Takhrij, dan Mu’jam
|
C.
Kesimpulan
Kodifikasi hadis adalah pembukuan
hadis secara resmi atas perintah kepala Negara. Kodifikasi hadis dilakukan pada
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah satu faktor hal ini
terjadi adalah karena kekhawatiran Khalifah akan hilangnya hadis-hadis gugurnya
para ulama hadis di medan perang, dan kekhawatiran akan bercampurnya antara
hadis shahih dan hadis palsu.
Adapun upaya yang dilakukan untuk
mewujudkan keinginan mulia ini, Khalifah menginstruksikan kepada para pejabat
daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.
Tahap demi tahap dilalui, mulai dari
pengumpulan hadis yang berbentuk lembaran catatan hingga pembukuan, dan
akhirnya ada yang berbentuk Musnad, jami’,
dan Sunan, Mu’jam, Mustadrak, Mustakhraj, Ikhtisar, dan Syarah, Zawaid, Jami’,
Jawami’, Athraf, Takhrij, dan Mu’jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar